#journey17
“Mengundang malapetaka atau melawan sangka ”
Part 1
Jauh hari sebelum berangkat, saya mempersiapkan fisik dan pengetahuan tentang bukit Daun. Mulai dari nonton vlog, baca artikel, berita hingga blog perjalanan. Ketika semua referensi terkumpul, saya mendapatkan gambaran tentang bukit Daun. Mulai dari track, estimasi waktu, bonus, flora dan fauna, hingga hal mistis pun sempat saya temukan di salah satu pengguna blog. Bukit Daun terletak di Ds. Baru Manis, Kec. Bermani Hulu, Kec. Rejang Lebong.
Sehari sebelum berangkat tiba-tiba saya datang bulan. Sempat dirundung kebingungan dengan semua persiapan dan diskusi keberangkatan, tidak mungkin dibatalkan begitu saja. Bukit daun masih sangat asri dan tidak banyak orang yang datang. Lalu, saya meminta pendapat dari teman-teman terdekat saya, rata-rata mereka mempunyai jawaban yang serupa, tidak sedikit pula yang melontarkan hal-hal mistis.
Apa benar wanita yang sedang datang bulan tidak boleh mendaki? Sebenarnya mitos atau fakta wanita yang sedang datang bulan tidak boleh naik gunung? Sedikit hal yang perlu diketahui, dilansir dari badrulmozila.com.
1. Faktor Fisik
1. Faktor Fisik
Kegiatan mendaki jelas menguji kekuatan fisik, dapat mengakibatkan penurunan kondisi fisik akibat menstruasi seperti, lemas, anemia, pusing, nyeri, bahkan sakit di bagian perut.
2. Faktor Kenyamanan
2. Faktor Kenyamanan
Faktor kenyamanan menjadi salah satu masalah terberat. Pendaki wanita mungkin akan serba tidak nyaman, baik ketika bergerak maupun diam.
3. Faktor Psikologis
Beberapa wanita mengalami mood yang naik turun akan perubahan hormonal cenderung mudah emosi ketika sedang menstruasi. Hal ini tentu saja sangat mengganggu pendakian, sedangkan mendaki gunung tidak hanya memerlukan fisik yang kuat, akan tetapi juga memerlukan kepala dan hati yang dingin.
4. Tempat Sakral
4. Tempat Sakral
Bagi sebagian orang tidak mudah percaya dengan hal mistis. Tapi memang ada beberapa gunung yang tidak memperbolehkan yang sedang berhalangan memasuki daerah tersebut, karena takut terjadi hal yang tidak-tidak, seperti kesurupan, dll.
Kesimpulannya, ikuti peraturan yang ada, jangan membuang sampah sembarangan, jaga etika dan sopan santun sebagai mana ketika sedang bertamu, tidak lupa pula untuk berdoa agar tetap berada dalam lindungan-Nya. Mau tau gimana perjalanan saya kali ini? Apakah saya mengalami gangguan mistis selama perjalanan?
Jumat, 24 Januari pukul 14.00 WIB saya dan Tangir menunggu dua rekan kami yang ikut pergi ke Kepahiyang. Ketika mereka tiba, kami berkenalan. Ali dan Frendy, kebetulan Ali temannya Mila-teman saya juga. Alhasil, kami berangkat bersama ke titik kumpul-rumah Mila.
Malam hari sesudah Isya, kami bersiap untuk briefing. Selain Ali dan Frendy, ada Tio, Bayu, Okta, Bang Heri, Bang Agus dan tiga orang lagi-saya lupa namanya. Kami mendiskusikan perihal logistik, peralatan, estimasi waktu, dll.
Sabtu, 25 Januari pukul 12.00 WIB kami memulai pendakian dari tempat administrasi dan penitipan kendaraan yang ketinggiannya mencapai 600 mdpl. Biaya yang di keluarkan hanya Rp.10.000,- per motor. Sebelum berangkat, kami berdoa bersama akan keselamatan selama pendakian. Ketika 60 menit pertama, hujan membuat kami harus mengeluarkan ponco dan memasang rain cover bag. Kemudian kami kembali menyusuri kebun teh selama 2 jam. Ternyata benar, fisik wanita melemah ketika sedang datang bulan. Selama di perjalanan, saya banyak berhenti. Perut mulai sakit, dan kepala perlahan pusing. Tetapi, tetap saya kuatkan, karena jika sakit dibawa sakit, hanya akan menjadi beban. Pukul 14.25 WIB kami tiba di post terakhir sebelum memasuki hutan. Kami beristirahat dan mengeluarkan logistik untuk mengisi perut dan mengumpulkan tenaga.
BERDOA SEBELUM MASUK PINTU RIMBA
ISTIRAHAT SEJENAK
Pukul 16.00 WIB kami kembali berdoa bersama di depan pintu rimba. Kaki mulai melangkah menyusuri hutan yang asri dan sejuk mulai menusuk jari-jari. Dalam perjalanan, banyak sekali keindahan yang bisa dinikmati seperti, hutan lumut, spesies kantong semar, dan beberapa jenis suara hewan. Hari mulai gelap, saya mulai merasa tidak nyaman dengan keadaan haid. Takut ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya terus berdoa, membaca ayat kursi dan bersholawat selama di perjalanan. Saya sempat mendapat kabar dari warga sekitar, tidak ada larangan khusus, wanita yang sedang haid tidak boleh mendaki bukit daun, hanya saja ketika ada seseorang yang memanggil, jangan pernah dihiraukan. Wih ngerii! Meski begitu, saya mencoba menjauhkan pikiran negatif.
Diawal tahun 2020, hujan sering kali datang tiba-tiba. Tentu saja banyak pacat yang bersuka ria. Tembakau menjadi salah satu solusi agar tidak di hampiri pacat. Sesekali saya berhenti untuk mengatur nafas dan kembali menghadapi track yang ada di depan. Benar saja, bukit Daun hampir tidak memberi celah bonus, hanya ada tanjakan dan tanjakan. Perut saya mulai keram, tidak tahan melangkah cepat. Alhasil rekan saya yang lain membantu dan tetap mengiringi saya. Menurut saya, mendaki ketika haid sangat tidak nyaman, susah bergerak dan beresiko dalam kesehatan. Apalagi dihari pertama seperti saya, akan rentan mengalami keram di bagian perut. Namun, jika kalian merasa memiliki fisik yang kuat, tidak masalah. Jangan lupa memberi tahu rekan pendakian atau ketua tim, agar mereka tau kondisi kalian.
Pukul 20.54 WIB kami beristirahat, sekedar makan roti dan minum kopi sembari berceloteh, lain halnya dengan saya. Saya memilih tidur agar keram di perut cepat usai. Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Tracknya semakin terjal, kata Tangir “Tracknya hampir sama dengan track gunung Dempo”.
14 jam sudah perjalanan, pukul 01.54 WIB kami tiba di top bukit Daun 2467 MDPL. [Part 2: Danau Tersembunyi Di...]
Salam Literasi!
Salam Literasi!
0 comments