#journey2
“Bukan ketinggiannya yang menantang adrenalir,
tapi perjalanannya yang menciptakan serpihan bulir,”- Alna Abe
Inilah jurnal perjalanan pertama saya, yang saya rajut dengan
keberanian untuk mempublikasikannya.
Bengkulu, Kamis 11 Januari 2019. Saya
dan teman-teman berencana untuk pergi mendaki. Setelah lama berdiskusi,
akhirnya kami memutuskan menghabiskan akhir pekan kami di Bukit Kaba. Letaknya
yang tidak terlalu jauh dari kota Bengkulu, membuat kami penasaran akan
panorama yang katanya eksotis. Semua kami persiapkan, mulai dari transportasi,
carrier, tenda, nesting, hingga logistik
kami atur seapik mungkin. Alhasil saya,
Pangin, Merus, Tata, Kelam, Batu, Bekicot, Mukak, Sarut, Dape, bang Katu dan
bang Smekot pun pergi meninggalkan kota Bengkulu menuju Curup, Kabupaten Rejang
Lebong di esok hari.
Sabtu, 12 Januari 2019 pukul 08.45 WIB perjalanan kami dimulai. Waktu
semakin beranjak, walaupun terik siang itu sangat menyengat, tidak sedikitpun
membuat kami mengeluh. Hingga pukul 16.25 WIB kami tiba di kaki bukit kaba.
Namun sayang, turunnya hujan membuat perjalanan kami tertunda. Kami pun
berteduh di suatu tempat yang memang saat itu sangat efektif dengan jumlah kami
yang tidak sedikit. Hujan turun begitu deras, sesekali petir datang membuat
irama. Ada rasa kecewa ketika bang Katu dan bang Smekot mencari jalan keluar
dengan menunda pendakian sore itu, dikarenakan hujan dan petir tak kunjung
berhenti. “Tidak mungkin rasanya melakukan pendakian di malam hari,
sedangkan langit sudah tampak gelap ditambah hujan yang tak jua berhenti”,
begitu kata mereka. Saya mengerti, mereka tidak ingin ada sesuatu hal buruk
terjadi terhadap kami, toh itu pendakian
perdana. Tetapi, saya terus berdoa di dalam hati agar hujan segera reda, teman-teman
saya pun begitu.
Semesta tahu apa yang kami harapkan,
hujan pun berhenti. Kami bersorak ria dan mengucap syukur atas doa yang telah
terwujud. Tepat pukul 17.45 WIB kami melanjutkan perjalanan. Disepanjang jalan,
mata saya di manjakan dengan keindahan kebun yang subur. Mulai dari umbi-umbian
hingga buah-buahan. Finnaly, kami sampai di pemberhentian pertama,
disana kami membayar biaya parkir dengan tarif Rp. 15.000,00- per/motor dan
asuransi Rp. 6500,00- per/ orang.
Setelah semuanya selesai, kami
bersiap untuk melakukan perjalan. Dari sini, kaki kami mulai melangkah. Saran
saya, sebelum melakukan pendakian, sebaiknya olahraga kecil-kecilan terlebih
dahulu, agar nantinya tubuh semakin fitt. Hari semakin gelap, dingin
mulai menusuk kulit. Namun semua itu tidak sedikitpun membuat saya menyerah,
walau beberapa saat kaki saya merasa lemas karena menopang bobot tubuh yang
tidak ringan:v
Diwaktu yang sama, salah satu teman
saya sedikit mengeluh dan selalu meminta untuk break, bahkan hampir
menyerah. Karena mengingat waktu yang semakin larut, dan akan berhadapan dengan
kabut dan bau belerang. Kami mengayominya agar tetap bersemangat. Perjalanan pun berlanjut, tetap
bersama tanpa ada yang pergi duluan walau sering sekali Mukak meminta untuk
beristirahat.
Akhirnya, pukul 20.20 WIB kami
sampai dengan selamat. Dengan rasa haru, saya memandang jauh ke bawah sana. Cahaya
kerlip terlihat dari tempat kaki berpijak, jauh dari kebisingan kota.
Pemandangan ini persis sekali ketika saya pergi ke teropong kota, di Bandar
Lampung. Bedanya, cahaya kota Bengkulu tidak seluas Bandar Lampung. Walaupun
begitu, bersyukur sekali rasanya, karena raga ini masih kuat hingga sampai
disini.
Sesampainya, kami berbagi tugas membuat tenda dan mempersiapkan
logistik untuk makan malam. Ditengah malamnya kota curup, kami berbincang ria di
atas 1.938 mdpl. Senang rasanya bisa duduk menyumut kopi hangat ditambah lagi
dengan adanya bang Rio dan temannya, yang kebetulan saat itu sedang mengerjakan
tugas navigasi daratnya. Fajar bersiap untuk datang, kamipun menutup obrolan
dan segera beristirahat serta kembali mengumpulkan energi.
Dingin menyapa ketika membuka mata,
membuat tubuh sesekali menggigil dibuatnya. Melepaskan sleeping bag dan
keluar tenda, tak tahan menyaksikan fajar secara nyata. Saya dan teman-teman
segera bergegas untuk menggapai summit bukit Kaba. Seribu tangga sudah
menunggu di depan mata, melangkah dan terus melangkah walau sesekali nafas ini
tersengal olehnya.
Lelah ini terbalas dengan
kehadirannya, fajar. Menarik nafas sejenak dan menatap takjub di seberang sana.
Estetika yang luar biasa, ketika fajar melintas. Ingin sekali durasi ini diperpanjang
ataupun diperlambat, menikmati detik demi detiknya waktu berlalu. Sungguh hati
ini bangga, karena akhirnya salah satu wicket list saya dicoret, walau
banyak nambahnya.
Ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul
dari benak saya, “Apa suatu saat nanti saya bisa kesini kembali? Sampai
kapan saya bisa menikmati keindahan seperti ini? Dapatkah saya melanjutkan
perjalanan selanjutnya, dan meneruskan jurnal perjalanan ini?
Bagaimana
dengan kalian?
Bengkulu, 23 April 2019