Bukit Kaba Sang Mercusuar Kota Bengkulu

By alnaabee26 - April 23, 2019


#journey2



 “Bukan ketinggiannya yang menantang adrenalir, tapi perjalanannya yang menciptakan serpihan bulir,”- Alna Abe

     Inilah jurnal perjalanan pertama saya, yang saya rajut dengan keberanian untuk mempublikasikannya.
            Bengkulu, Kamis 11 Januari 2019. Saya dan teman-teman berencana untuk pergi mendaki. Setelah lama berdiskusi, akhirnya kami memutuskan menghabiskan akhir pekan kami di Bukit Kaba. Letaknya yang tidak terlalu jauh dari kota Bengkulu, membuat kami penasaran akan panorama yang katanya eksotis. Semua kami persiapkan, mulai dari transportasi, carrier,  tenda, nesting, hingga logistik kami atur seapik mungkin. Alhasil  saya, Pangin, Merus, Tata, Kelam, Batu, Bekicot, Mukak, Sarut, Dape, bang Katu dan bang Smekot pun pergi meninggalkan kota Bengkulu menuju Curup, Kabupaten Rejang Lebong di esok hari.
     Sabtu, 12 Januari 2019 pukul 08.45 WIB perjalanan kami dimulai. Waktu semakin beranjak, walaupun terik siang itu sangat menyengat, tidak sedikitpun membuat kami mengeluh. Hingga pukul 16.25 WIB kami tiba di kaki bukit kaba. Namun sayang, turunnya hujan membuat perjalanan kami tertunda. Kami pun berteduh di suatu tempat yang memang saat itu sangat efektif dengan jumlah kami yang tidak sedikit. Hujan turun begitu deras, sesekali petir datang membuat irama. Ada rasa kecewa ketika bang Katu dan bang Smekot mencari jalan keluar dengan menunda pendakian sore itu, dikarenakan hujan dan petir tak kunjung berhenti. “Tidak mungkin rasanya melakukan pendakian di malam hari, sedangkan langit sudah tampak gelap ditambah hujan yang tak jua berhenti”, begitu kata mereka. Saya mengerti, mereka tidak ingin ada sesuatu hal buruk terjadi  terhadap kami, toh itu pendakian perdana. Tetapi, saya terus berdoa di dalam hati agar hujan segera reda, teman-teman saya pun begitu.
            Semesta tahu apa yang kami harapkan, hujan pun berhenti. Kami bersorak ria dan mengucap syukur atas doa yang telah terwujud. Tepat pukul 17.45 WIB kami melanjutkan perjalanan. Disepanjang jalan, mata saya di manjakan dengan keindahan kebun yang subur. Mulai dari umbi-umbian hingga buah-buahan. Finnaly, kami sampai di pemberhentian pertama, disana kami membayar biaya parkir dengan tarif Rp. 15.000,00- per/motor dan asuransi Rp. 6500,00- per/ orang.
            Setelah semuanya selesai, kami bersiap untuk melakukan perjalan. Dari sini, kaki kami mulai melangkah. Saran saya, sebelum melakukan pendakian, sebaiknya olahraga kecil-kecilan terlebih dahulu, agar nantinya tubuh semakin fitt. Hari semakin gelap, dingin mulai menusuk kulit. Namun semua itu tidak sedikitpun membuat saya menyerah, walau beberapa saat kaki saya merasa lemas karena menopang bobot tubuh yang tidak ringan:v
            Diwaktu yang sama, salah satu teman saya sedikit mengeluh dan selalu meminta untuk break, bahkan hampir menyerah. Karena mengingat waktu yang semakin larut, dan akan berhadapan dengan kabut dan bau belerang. Kami mengayominya agar tetap  bersemangat. Perjalanan pun berlanjut, tetap bersama tanpa ada yang pergi duluan walau sering sekali Mukak meminta untuk beristirahat.
            Akhirnya, pukul 20.20 WIB kami sampai dengan selamat. Dengan rasa haru, saya memandang jauh ke bawah sana. Cahaya kerlip terlihat dari tempat kaki berpijak, jauh dari kebisingan kota. Pemandangan ini persis sekali ketika saya pergi ke teropong kota, di Bandar Lampung. Bedanya, cahaya kota Bengkulu tidak seluas Bandar Lampung. Walaupun begitu, bersyukur sekali rasanya, karena raga ini masih kuat hingga sampai disini.
Sesampainya, kami berbagi tugas membuat tenda dan mempersiapkan logistik untuk makan malam. Ditengah malamnya kota curup, kami berbincang ria di atas 1.938 mdpl. Senang rasanya bisa duduk menyumut kopi hangat ditambah lagi dengan adanya bang Rio dan temannya, yang kebetulan saat itu sedang mengerjakan tugas navigasi daratnya. Fajar bersiap untuk datang, kamipun menutup obrolan dan segera beristirahat serta kembali mengumpulkan energi.
            Dingin menyapa ketika membuka mata, membuat tubuh sesekali menggigil dibuatnya. Melepaskan sleeping bag dan keluar tenda, tak tahan menyaksikan fajar secara nyata. Saya dan teman-teman segera bergegas untuk menggapai summit bukit Kaba. Seribu tangga sudah menunggu di depan mata, melangkah dan terus melangkah walau sesekali nafas ini tersengal olehnya.
            Lelah ini terbalas dengan kehadirannya, fajar. Menarik nafas sejenak dan menatap takjub di seberang sana. Estetika yang luar biasa, ketika fajar melintas. Ingin sekali durasi ini diperpanjang ataupun diperlambat, menikmati detik demi detiknya waktu berlalu. Sungguh hati ini bangga, karena akhirnya salah satu wicket list saya dicoret, walau banyak nambahnya.   
            Ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul dari benak saya, “Apa suatu saat nanti saya bisa kesini kembali? Sampai kapan saya bisa menikmati keindahan seperti ini? Dapatkah saya melanjutkan perjalanan selanjutnya, dan meneruskan jurnal perjalanan ini?
Bagaimana dengan kalian?


Bengkulu, 23 April 2019


  • Share:

You Might Also Like

2 comments